oleh:
Dewanto Kusumo (Mhs PKN STAN)
Andri Marfiana (Dosen PKN STAN)
Secara sederhana pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan. Pengertian penghasilan dijelaskan lebih lanjut di dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang mana penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Salah satu langkah pengumpulan penerimaan PPh adalah dengan menerapkan pemotongan dan pemungutan pajak atas penghasilan (Potput PPh). Dari sistem pemotongan dan pemungutan yang ada, PPh Pasal 21 adalah yang keberadaanya cukup populer di masyarakat. Jenis pajak ini banyak dikenal oleh masyarakat karena hampir selalu ditemui di kehidupan sehari-hari, terutama atas penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga kerja.
Beralih kepada tenaga kerja, salah satu pekerjaan yang sedang ramai dan banyak menjadi pilihan masyarakat belakangan ini adalah menjadi driver ojek online. Pada mulanya, keberadaan ojek online di Indonesia masih kurang diminati lantaran fitur-fitur yang ada di era awal peluncuranya masih sangat terbatas. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, sistem ojek online terus bertransformasi sedemikian sehingga menjadi kaya akan fitur, hingga akhirnya dikenal dan digemari oleh masyarakat luas mulai dari kota metropolitan hingga ke daerah berkembang. Keberadaan ojek online sekarang ini umumnya dinaungi oleh perusahaan berbasis keuangan atau yang biasa dikenal dengan sebutan fintech. Dari proses bisnis tersebut, timbul pertanyaan bagaimana fakta yang ada mengenai kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan yang diperoleh driver ojek online?
Saat ini terdapat dua perusahaan penyedia layanan ojek online yang cukup ternama di Indonesia, mereka adalah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa selaku pemilik merek “Gojek” dan PT Grab Teknologi Indonesia selaku pemilik merek “Grab” khususnya divisi Grab Car, Grab Bike dan Grab Food. Jika melihat dari sistem penghasilan yang diperoleh sebagai driver, maka yang bersangkutan dapat digolongkan kedalam kelompok pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, yang mana hanya akan memperoleh penghasilan apabila yang bersangkutan melakukan pekerjaanya. Selain itu, driver pada dua perusahaan penyedia layanan ojek online diatas menggunakan sistem bagi hasil dengan persentase tertentu atas penghasilan yang diperolehnya dari menggunakan layanan ojek online yang telah disediakan oleh penyedia.
Penghasilan yang diperoleh driver bisa dibilang cukup menjanjikan. Rata-rata penghasilan driver Gojek di Jabodetabek pada tahun 2019 dapat mencapai Rp 4.900.000 per bulan, yang mana angka ini berada diatas upah minimum provinsi Jakarta sebesar Rp 3.900.000 pada tahun yang sama. Rata-rata penghasilan ini juga berada diatas penghasilan tidak kena pajak senilai Rp. 58.500.000 dalam satu tahun atau apabila yang bersangkutan berstatus TK/0, TK/1 ataupun K/0. Dalam hal ini, penghasilan driver mulai terlihat menarik untuk diperbincangkan di ranah perpajakan, khususnya atas kewajiban pemotongan penghasilan driver yang bersangkutan.
Jika melihat realita yang ada, penghasilan sebagai driver belum dipotong PPh Pasal 21 oleh perusahaan penyedia layanan ojek online. Hal ini dilakukan oleh penyedia layanan ojek online karena mereka berpendapat bahwa driver adalah mitra perusahaan dan bukan merupakan tenaga kerja ataupun pegawai lepas pada perusahaan yang bersangkutan. Lantas, apakah alasan ini sudah tepat apabila dikembalikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan ketenagakerjaan?
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 1(3) dijelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Status ketenagakerjaan para driver ini cukup sulit untuk digolongkan ke dalam pekerja biasa maupun pekerja independent (). Hal ini terjadi dikarenakan terdapat beberapa kesenjangan seperti perbedaan sifat kedua kelompok tenaga kerja diatas, yang mana apabila dilihat dari aspek kontrol diri terhadap pekerjaanya, driver ojek online memiliki kebebasan dalam memilih kendaraan, jam kerja baik dalam alokasi maupun total keseluruhan serta rute dan sebagainya. Namun, apabila melihat dari dasar penerapan tarif dan tata cara pemilihan pelanggan, mereka bekerja layaknya seorang pekerja yang mana ketentuanya telah diatur oleh perusahaan. Oleh sebab itulah, jika ditinjau dari undang-undang ketenagakerjaan, driver ojek online masih berstatus abu-abu hingga saat ini. Kondisi ini menyebabkan banyak lahir kesenjangan dalam penerapan beberapa aturan seperti ketentuan mengenai asuransi tenaga kerja hingga aturan perpajakan di dalamnya.
Sebenarnya undang-undang ketenagakerjaan telah memberikan acuan dasar apakah seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan kerja atau tidak. Acuan yang menjadi dasar antara lain :
- Pekerjaan
- Upah
- Perintah
Namun cukup disayangkan, ketiga unsur hubungan kerja diatas tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam undang-undang ketenagakerjaan, hingga terjadi banyak selisih pendapat apakah suatu pekerja terikat hubungan kerja tidak. Selisih pendapat ini juga terjadi antara perusahaan di bidang logistik dan sopir, hingga diterbitkanlah Putusan Mahkamah Agung No. 841 K/Pdt.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 276 K/Pdt.Sus/2013, yang mana akhirnya unsur hubungan kerja dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
- Pekerjaan : unsur ini terpenuhi jika pekerja hanya melaksanakan pekerjaan yang sudahdiberikan perusahaan.
- Upah:unsur ini terpenuhi jika pekerja menerima kompensasi berupa uang tertentu yang besar jumlahnya tetap dalam periode tertentu. Bukan berdasarkan komisi/persentase.
- Perintah: unsur ini terpenuhi jika pemberi perintah kerja adalah perusahaan. Bukan atas inisiatif pekerja.
Jika melihat pada putusan diatas, maka driver tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penyedia layanan ojek online, karena tidak memenuhi unsur perintah sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tenaga kerja pada perusahaan yang bersangkutan. Kemudian, bagaimana pandangan hukum pajak mengenai penghasilan yang diperoleh driver ?
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ/2016, di pasal 5 (1) huruf d, penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas meliputi upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. Atas penghasilan tersebut diwajibkan untuk dilakukan pemotongan, apabila penghasilan tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Kembali pada jenis penghasilan yang diterima driver, penghasilan tersebut antara lain berupa pembayaran yang dibayarkan oleh pengguna jasa dan bonus yang dibayarkan oleh perusahaan penyedia layanan ojek online. Atas penghasilan berupa pembayaran oleh pengguna jasa ojek online, tidak dapat dilakukan pemotongan pajak karena pembayaran tersebut umumnya diberikan secara langsung kepada driver dan di sisi lain juga tidak terdapat hubungan kerja antara perusahaan penyedia layanan ojek online dengan driver.
Perlu diketahui, secara umum PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diperoleh tenaga kerja apabila ada hubungan kerja dengan pemberi kerja itu sendiri. Dikarenakan status driver bukan sebagai tenaga kerja pada perusahaan penyedia layanan ojek online dikarenakan tidak terpenuhinya unsur hubungan kerja, maka atas penghasilan berupa pembayaran dari pengguna jasa kepada driver, tidak dilakukan pemtongan PPh Pasal 21. Namun apabila penghasilan tersebut berupa bonus dari perusahaan penyedia layanan ojek online. Atas penghasilan ini merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21 dan diperlakukan sebagai hadiah dan penghargaan sehubungan dengan pekerjan, jasa dan sejenisnya yang dilakukan oleh subjek pajak orang pribadi dalam negeri. Selanjutnya bagaimana pemerintah dapat mengumpulkan pajak atas penghasilan Driver dari penerima jasa?
Seiring dengan perkembangan industri utamanya di era industri 4.0, nampak banyak produk hukum kita yang mulai tidak dapat mengikuti perkembangan yang ada. Penyelarasan hukum diperlukan agar kinerja dan peran pemerintah dapat lebih optimal. Beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pembuatan Omnibus Law. Selain memperbaiki produk hukum yang ada, keberadaan uang digital yang disediakan oleh perusahaan fintech, mengharuskan pemerintah lebih membuka mata dan terus mengawasi transaksi yang kini bentuknya semakin beragam demi menggali potensi penerimaan negara yang ada.
Disclaimer: artikel ini merupakan pendapat pribadi Penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Institusi tempat Penulis bekerja dan kuliah (PKN STAN, BPPK, Kemenkeu RI).