Oleh: Imam Muhasan, Dosen PKN STAN
Disclaimer:
- artikel ini merupakan pendapat pribadi Penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Institusi tempat Penulis bekerja (PKN STAN, BPPK, Kemenkeu RI),
- artikel ini tidak menganalisis tepat ATAU tidaknya putusan perkarapidana yang ‘disidangkan’ oleh Ibu Albertina Ho dengan Terdakwa Sdr Gayus Tambunan, melainkan tentang salah satu obyek PPN, yaitu Pasal 16D UU PPN, yang kebetulan menjadi isu utama dalam perkara a quo,
- artikel ini ini juga terlepas dari perdebatan soal pro-kontra atas diundangkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dimana Dewan Pengawas merupakan struktur baru dalam KPK berdasarkan UU tersebut.
- Albertina Ho dan Gayus Tambunan
Dari sejak nama Ibu Albertina Ho disebut oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu calon anggota Dewan Pengawas KPK hingga pengangkatan Beliau (bersama 4 anggota lainnya) melalui Keputusan Presiden Nomor 140/P Tahun 2019, hampir seluruh media massa nasional (online & offline) ramai-ramai mengangkat berita tentang Ibu Albertina Ho, dikaitkan dengan sosok Gayus H.P. Tambunan (Gayus Tambunan).
Ya, jika kita flashback pada peristiwa sekitar tahun 2010-2011, kita akan teringat pada persidangan perkara korupsi dengan terdakwa Sdr Gayus Tambunan dimana bertindak selaku Hakim Ketua yang menyidangkan perkara tersebut adalah Ibu Albertina Ho. Melalui Putusan Nomor 1195/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel yang dibacakan pada tanggal 19 Januari 2011, majelis hakim menjatuhan pidana penjara selama 7 tahun dan sanksi pidana lainnya.
Cerita bermula dari ‘heboh’ pemberitaan tentang kepemilikan ‘rekening gendut’ oleh Sdr. Gayus Tambunan, yang diduga diperoleh secara melawan hukum (illicit enrichment), karena dinilai tidak sesuai dengan profil penghasilan yang bersangkutan selaku PNS dengan Pangkat III.a pada saat itu.
Secara normatif, kepemilikan ‘rekening gendut’ bukanlah merupakan tindak pidana (delik), baik menurut KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Per-UU-an Pidana lainnya. Demikian pula, menurut UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) maupun UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, melainkan harus dapat ditemukan (meskipun tidak harus dibuktikan) terlebih dahulu adanya Tindak Pidana Asal (Predicate Crime), sebagai Pintu Masuk (Prima Facie).
Singkat cerita, Sdr Gayus menjadi Terdakwa dalam suatu persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan bertindak sebagai Hakim Ketua adalah Ibu Albertina Ho.
Secara ringkas, Gayus Tambunan secara bersama-sama dengan anggota ”Tim Peneliti Keberatan” lainnya pada Direktorat Keberatan dan Banding DJP didakwa telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dalam penerbitan surat keputusan keberatan atas nama Wajib Pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT). Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya yang “diamini’ oleh Majelis Hakim melalui putusannya, menyatakan bahwa penerbitan Surat Keputusan Keberatan oleh Tim Peneliti Keberatan (dimana Gayus Tambunan termasuk di dalamnya), dianggap telah memenuhi kualifikasi tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU Tipikor.
Secara garis besar, Majelis Hakim berpendapat bahwa Keputusan Tim Penelaah Keberatan yang ‘mengabulkan’ permohonan keberatan PT SAT, yang oleh karenanya Negara melalui KPP Madya Sidoarjo harus mengembalikan kelebihan pembayaran (restitusi) kepada PT SAT senilai Rp 570.952.000,- tersebut dianggap telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU Tipikor.
Catatan: Belakangan (namun ini tidak ada hubungannya dengan perkara Gayus Tambunan), MK melalui Putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah ‘menghapus’ kata ‘dapat’ dalam frasa ‘dapat menimbulkan kerugian negara’ pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
- PPN atas Aktiva Bekas
Adapun isu pajak dalam permohonan keberatan oleh PT SAT yang akhirnya berujung pada perkara pidana korupsi tersebut adalah soal pengenaan Obyek PPN Pasal 16D, yang secara spesifik menyangkut penentuan saat terjadinya penyerahan barang kena pajak (dalam hal ini barang tidak bergerak).
Sebagaimana kita tahu, bardasarkan Pasal 16D UU PPN Nomor 11 Tahun 1994, atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, terutang PPN. Masyarakat umum sering menyebut PPN Pasal 16D ini sebagai PPN atas Pengalihan Aktiva Bekas (PPN atas Aktiva Bekas).
Dari pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemeriksa Pajak Kanwil DJP Jawa Bagian Timur terhadap PT SAT untuk Tahun Pajak 2004, Kepala KPP Sidoarjo telah menerbitkan SKPKB, termasuk SKPKB PPN yang merupakan pengenaan PPN Pasal 16D atas pengalihan ‘aktiva bekas’ berupa Tanah, Bangunan dan Mesin (dalam 1 paket) yang berlokasi di Banyuwangi, oleh PT SAT kepada PT Surat Adikumala Abadi (PT SAA). Atas SKPKB dimaksud, PT SAT mengajukan permohonan Keberatan ke Direktorat Keberatan dan Banding melalui Surat Nomor Sek.125/ Pjk.SAT/III/2007.
Singkat cerita, Direktur Keberatan dan Banding menerbitkan Surat Tugas kepada “Tim Peneliti Keberatan”, yang di dalamnya termasuk Sdr Gayus Tambunan, untuk melakukan penelitian terhadap permohonan keberatan yang diajukan PT SAT tersebut. Menindaklanjuti hasil Penelitian yang dilakukan “Tim Peneliti Keberatan”, pada tanggal 22 Oktober 2007 Dirjen Pajak menerbitkan Surat Keputusan Nomor KEP-757/PJ.07/2007, yang pada intinya ‘menerima’ permohonan keberatan yang diajukan PT SAT, yang ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKP dan SKPIB oleh Kepala KPP Madya Sidoarjo.
Secara garis besar, dasar pemikiran atau argumentasi yang digunakan oleh ‘Tim Peneliti Keberatan” dalam “menerima” permohonan keberatan atas PPN Pasal 16D adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan Pasal 16D UU PPN Nomor 11 Tahun 1994, pengalihan ‘aktiva bekas’ “hanya” terutang PPN jika pajak masukan pada saat perolehannya dahulu, dapat dikreditkan.
- Aktiva bekas dimaksud, menurut pendapat Tim Peneliti, diperoleh PT SAT dari PT SAA pada tanggal 31 Desember 1994, dimana UU PPN Nomor 11 Tahun 1994 yang mengatur tentang PPN Pasal 16D belum berlaku (baru berlaku mulai 1 Januari 1995).
- Pendapat Tim Peneliti Keberatan ini didasarkan pada adanya Akta Ikatan Jual Beli dan Pengoperan (semacam PPJB, bukan PPJB) Nomor 160 tanggal 31 Desember 1994.
- Pada kenyataanya, aktiva bekas dimaksud masih dalam penguasaan BRI Cabang Surabaya, sebagai jaminan atas pinjaman yang dilakukan PT SAA, yang oleh karenanya pengalihan secara yuridisbelum terlaksana dalam tahun 1994 (baru terlaksana pada bulan Juni 1995).
Mari kita coba cermati ketentuan tentang PPN Pasal 16D ini, terutama yang berkaitan dengan Pajak Masukan atas perolehan Aktiva Bekas yang kemudian dialihkan, jika dihubungkan dengan perkara a quo.
Secara normatif historis, sejak reformasi perpajakan tahun 1983, ketentuan tentang PPN diatur dengan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983, UU PPN Nomor 11 Tahun 1994, UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 dan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Selanjutnya, mari kita lihat pengaturan PPN Pasal 16D dalam keempat UU PPN di atas:
- UU PPN Nomor 8 Tahun 1983
Dalam undang-undang ini belum diatur mengenai obyek pajak pasal 16D. Dengan kata lain, atas pengalihan “aktiva bekas” oleh PKP, tidak terutang PPN.
- UU PPN Nomor 11 Tahun 1994
Dalam UU yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995 inilah, ketentuan pasal 16D dimunculkan. Dengan demikian, atas pengalihan “aktiva bekas” oleh PKP, terutang PPN, sepanjang Pajak Masukan pada saat perolehannya, dapat dikreditkan.
- UU PPN Nomor 18 Tahun 2000
Dalam UU ini, tidak terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 16D. Dengan kata lain, ketentuan PPN Pasal 16D sebagaimana diatur dalam UU PPN Nomor 11 Tahun 1995 tetap berlaku.
- UU PPN Nomor 42 Tahun 2009
Dalam UU ini, terdapat perubahan redaksional pengaturan Pasal 16D dari UU Nomor 11 Tahun 1995, yang pada intinya “mempersempit” kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagai prasyarat tidak terutangnya PPN atas pengalihan “aktiva bekas”. Perubahan ini dapat dilihat dari:
- Hilangnya kata ‘yang dibayar’ dalam frasa ‘PPN yang dibayar’, dan
- Penambahan frasa “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c”
Sesungguhnya perubahan pengaturan PPN 16D dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 di atas, tidak terlepas dari masih banyaknya perbedaan pendapat megenai apa yang dimaksud dengan “sepanjang Pajak Masukan atas perolehannya dapat dikreditkan”, baik dikalangan internal DJP masupun masyarakat Wajib Pajak. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Tim Peneliti Keberatan membuat kesimpulan sebagaiman diuraikan di atas. Dengan penormaan baru atas PPN 16D melalui UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 di atas, diharapkan kejadian serupa tidak akan terulang kembali.
- Saat Terjadinya Pengalihan Aktiva Bekas
Argumentasi Tim Peneliti Keberatan yang menyatakan Aktiva Bekas diperoleh PT SAT dari PT SAA pada tanggal 31 Desember 1994 dengan mendasarkan pada Akta Ikatan Jual Beli dan Pengoperan (bukan AJB), merupakan pendapat yang tidak tepat. Secara keperdataan, perlu dibedakan saat terjadinya penyerahan (levering) antara baenda bergerak dan benda tidak bergerak.
Untuk benda bergerak, berdasarkan Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan dapat dilakukan melalui penyerahan secara nyata dari tangan ke tangan (feitelijke levering), sehingga dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische leverin). Sementara untuk benda tidak bergerak, berdasarkan Pasal 616 KUHPer, penyerahan dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPer antara lain membukukannya dalam register (sertifikat).
Dalam perkara a quo, menganggap bahwa Akta Ikatan Jual Beli dan Pengoperan sebagai tanda telah terjadinya perolehan hak (tanggal 31 Desember 1994), adalah tidak tepat, karena Akta Ikatan Jual Beli baru merupakan kesepakatan para pihak untuk melakukan jual beli (PPJB).
Selain itu, dengan mendasarkan pada Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1995, saat penyerahan PPN diatur sebagai berikut:
- Terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya merupakan barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pihak pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
- Terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya merupakan barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli .
àPakar PPN (Bapak Untung Sukardji (Alm), mencontohkan penyerahan berdasarkan kenyataan adalah ‘penyerahan kunci’ kepada pembeli rumah atau bangunan.
Selain itu, Pasal 35 PP Nomor 50 Tahun 1995 (Aturan Peralihan), juga menyatakan bahwa:
atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang diperoleh sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah:
- Apakah dapat dibenarkan, materi muatan dalam Pasal 33 PP Nomor 50 Tahun 1994 (sekarang PP Nomor 1 Tahun 2012), memuat penormaan secara berbeda dari KUHPerdata terkait leveringyang diatur dalam Buku II (bersifat dwingend recht, bukan aanvulend recht)..?
- Apakah dapat dibenarkan, materi muatan Pasal 35 aturan peralihan PP Nomor 50 Tahun 1994 bersifat retroaktif dan cenderung bertentangan dengan ketentuan Pasal 16D UU PPN.. ?